Aku ingat Nisa waktu dia masih kecil, Dia anak temanku yang paling kecil, Nisa benar-benar membuat hatiku tidak karuan, dengan rambut sebahu, hitam legam ikal. Umurnya sekitar 15 atau 16 tahun sekarang, dan wajahnya yang baby face membuatnya seperti tak berdosa. Ketika melihat Nisa untuk yang kesekian kalinya, aku bersumpah kalau aku harus berhasil tidur bersamanya sebelum aku pergi dari kota ini. Dan aku sudah menjalankan rencanaku. Aku main ke rumah Nisa bekali-kali, sepanjang siang dan malam sampai aku telepon untuk mengetahui kapan Nisa ada sendirian dan kapan orang tuanya ada. Dan pada waktu malam aku memutuskan untuk masuk ke rumah Nisa aku sudah memastikan bahwa orang tua Nisa sudah tidur dan Nisa ada di kamar tidurnya. Rencanaku akan kuperkosa Nisa sementara orang tuanya tidur di kamar mereka.
Tubuhku kaku karena tegang, waktu aku buka jendela belakang rumahnya pakai linggis. Suara jendela yang terdongkel terdengar seperti letusan membuatku harus diam tidak bergerak selama setengah jam menunggu apakah ada penghuni rumah yang terbangun. Untung saja semuanya masih dalam keadaan sunyi senyap, dan aku memutuskan untuk masuk. Tubuhku sekarang gemetar. Setiap langkahku seperti membuat seluruh rumah berderit dan aku siap meloncat melarikan diri. Tapi waktu aku sampai di depan kamar tidur Nisa rumah itu masih gelap dan sunyi senyap. Aku buka pintu dan masuk sambil menutupnya kembali. Aku seperti bisa mendengar jantungku yang berdetak keras sekali. Aku belum pernah setakut ini seumur hidupku. Tapi bagian yang paling susah sudah berhasil aku lampaui. Kamar tidur orang tua Nisa ada di lantai dasar. Aku berdiri di samping ranjang Nisa memilih langkah selanjutnya. Perlahan penisku mulai menegang sampai akhirnya besar dan tegang sampai ngilu. Mata Nisa terbuka menatapku tidak bisa bernafas. Aku ada di sebelah ranjangnya mencekik lehernya, sementara tangan kiriku mengcungkan belati di depan wajahnya.
Cerita sex memperkosa anak abg polos
“Diem. Jangan bergerak, jangan bersuara, atau lo mati.” aku dengar nada suaraku yang lain sekali dari biasa. Kedengarannya bengis dan kejam.
Nisa tetap terlihat cantik. Umurnya lima belas tahun. Dia terbatuk-batuk.
“Kalau aku lepasin tanganku, lo berguling tengkurap dan jangan berisik atau aku potong leher lo.” Aku tentu tidak bermaksud akan membunuh dia, tapi paling tidak itu berhasil bikin Nisa ketakutan. Nisa langsung menurut dan segera kuikat tubuhnya, menutup mulutnya dengan plester, dan mengikat pergelangan tangannya di belakang.
Selimut yang menutupi tubuh Nisa sekarang sudah ada di lantai, dan aku bisa melihat jelas gadis yang lagi tengkurap di depanku. Tubuh Nisa langsing dan mungil, dan baju tidur yang dipakainya terangkat ke tas membuatku bisa melihat kakinya yang putih dan mulus. Ereksiku sudah maksimal dan aku sudah tidak tahan sakitnya, celanaku menyembul didorong oleh penisku yang besar, dan bersentuhan dengan pantat Nisa yang mungil. Aku menindih Nisa dan bergoyang-goyang membuat penisku bergesekan dengan pantat Nisa dan dengan tanganku yang bebas kuraba bagian dada Nisa yang masih ditutup oleh dasternya. Buah dada Nisa masih kecil, yang membuatku makin birahi. Mulutku bersentuhan dengan telinga Nisa .
“Lo benar-benar sempurna. Tetap diam dan aku akan pergi sebentar segera.”
Mata Nisa terpejam seakan-akan telah tertidur kembali. Aku lepaskan celana trainingku dan celana dalamku sampai ke kakiku tapi belum aku melepaskannya dari badanku, sambil menatap bagian belakang tubuh Nisa yang indah. Kakinya yang telanjang membuat nafasku berat, dan dasternya tidak bisa lagi menutupi pantatnya yang ditutupi celana dalam putih. Dan tangannya yang terikat erat benar-benar membuat Nisa sempurna buatku. Aku buka kaki Nisa tanpa perlawanan yang berarti, dan membenamkan wajahku, yang membuat Nisa mengeluarkan erangan untuk pertama kalinya. Aku benamkan wajahku ke selangkangan Nisa , menikmati wangi tubuh Nisa , yang terus mengerang ketakutan. Selanjutnya aku raba-raba vaginanya yang tertutup celana dalam dari belakang, meraba, dan akhirnya menusuk-nusuk dengan jariku. Ini membuat erangan Nisa makin keras sehingga aku harus mengancamnya lagi dengan belatiku. Kemudian kulihat dia gemetar dan kelihatannya mulai menangis. Celana dalamnya lembab, dan aku jadi berpikir mungkin Nisa mulai terangsang oleh jariku.
“Lo suka Nisa ? Hei, lao suka tidak?” Nisa hanya menangis. Aku terus meraba vaginanya, sampai aku tidak tahan lagi, dan langsung kutarik celana dalam Nisa sampai lepas.
Aku makin mencium bau tubuh Nisa . Dan aku mulai gila. Aku balik lagi badannya, karena aku tahu aku lebih mudah ngerjain Nisa lewat depan. Nisa berbaring tidak nyaman, berbaring telentang dengan tangan terikat ke belakang, dan telanjang mulai pinggang ke bawah, rambut kemaluannya yang masih tipis terlihat jelas. Ia menatap mataku, air mata membuat pipi Nisa berkilat tertimpa cahaya lampu kamarnya. Aku tidak begitu suka lihat tatap mata Nisa , aku jadi berpikir untuk bikin dia tengkurap lagi begitu penisku sudah masuk ke vaginanya. Aku menempatkan tubuhku, aku harus memnyuruhnya beberapa kali untuk membuka kakinya lebih lebar, seperti dokter gigi, “Ayo lebih lebar sayang, lho kok segitu, lebih lebar lagi, bagus anak manis..”, Aku ingin tahu dia masih perawan atau tidak. Nisa tidak meronta-ronta, soalnya aku masih pegang belatiku, tapi terus menangis tersedu-sedu, dan mengerang-erang, berusaha berkata sesuatu.
“Lo masih perawan tidak Nisa ? Masih? Masih apa tidak.”
Nisa terus menangis. Aku angkat dasternya ke atas lagi. Di depan Nisa agak rata, buah dadanya hanya sekepal dengan puting susu yang mengeras. Aku pikir itu karena udara dingin, tapi mungkin juga bagian dari tubuh Nisa yang emang terangsang.
“Bukan gitu sayang, lo musti buka lebih lebar lagi..”
Aku tekan penisku di belahan vaginanya yang masih mungil. Terasa basah. Kutarik lagi penisku dan kumasukkan jariku, dan merasakan jepitan vagina Nisa yang hangat yang membuat penisku ingin merasakannya juga. Aku gerakkan penisku maju mundur beberapa kali dan mengarahkan penisku lagi, tegang seperti tongkat kayu.
“Buka lagi manis. Lo benar-benar cantik. Aku cuma mau perkosa kamu terus pergi.”
Aku harus mendorong, bergoyang, berputar, dan akhirnya mengangkat kedua kaki Nisa ke atas sebelum aku berhasil mendorong kepala penisku masuk ke vagina Nisa . Aku lihat lagi buah dada Nisa dengan putingnya yang mencuat ke atas, mata yang memohon dan meratap dengan air mata dan aku dorong penisku masuk ke vagina mungil milik gadis berumur lima belas tahun itu dengan seluruh tenagaku. Nisa menjerit, diredam oleh plester, membuatku makin semangat. Vaginanya sempit sekali seperti menggenggam penisku. Dia ternyata tidak basah sama sekali. Aku perkosa dia dengan kasar, seakan-akan aku ingin membuatnya mati dengan penisku, berusaha membuat Nisa menjerit serta aku menghentak masuk. Nisa semakin histeris sekarang.
Keadaanku sudah 100 persen dikuasai birahi, dan sekarang aku memusatkan perhatian untuk menyakiti Nisa , dan aku tidak punya lagi rasa kasihan buat Nisa . Aku terus menghentak-hentak di atas tubuh Nisa , dengan kecepatan yang brutal, dan tubuhnya yang mungil terbanting-banting karena gerakanku. Aku merasa aku seperti merobek vagina Nisa dengan penisku, dan membuatku makin terangsang, mendorongku bergerak makin brutal. Di sela-sela gerakanku, aku jatuhkan belatiku dan kulepaskan celanaku yang membuat tanganku bebas menggunakan tubuh Nisa . Aku kesetanan merasakan tubuh Nisa , aku meremas setiap bagian tubuh Nisa , meremas buah dadanya, menjepit puting susunya, dan menggunakan bahunya yang kecil buat menopang tubuhku.
Aku hampir tidak ingat apa aja yang aku kerjakan sama Nisa . Nisa beberapa kali meronta pada awalnya, berusaha membebaskan tangannya, berusaha berguling, berusaha mengeluarkan penisku dari vaginanya. Wajah Nisa memancarkan rasa panik dan takut, dan aku terus memperkosanya sekuat tenagaku, seakan-akan itu masalah hidup dan matiku. Seaat sebelum aku mengalami orgasme aku menarik penisku keluar dan Nisa langsung berusaha untuk berguling. Aku jambak rambutnya dan menariknya.
Aku tarik kepalanya sampai menempel ke lantai. Sementara dia jatuh berlutut, tapi Nisa sama sekali tidak bisa mengangkat wajahnya dengan tangan masih terikat ke belakang. Kepala Nisa terbenam ke lantai. Nisa masih menangis dan gemetar. Aku masukkan lagi penisku ke vagina Nisa tanpa kesulitan, karena penisku sudah seluruhnya dilumuri darah perawan Nisa . Aku masukkan dari belakang sebelum Nisa sempat meronta, aku pegangin pinggulnya sementara aku terus mendorong sekuat tenaga. Dengan pantat masih nungging ke atas aku tekan punggung Nisa dengan tanganku sehingga kepala dan dada Nisa makin terhimpit ke lantai, dan aku terus memperkosa dia dengan gaya seperti anjing. Dan Nisa sendiri sekarang mendengking-dengking seperti anak anjing yang ketakutan. Sekarang kutarik lagi rambutnya, membuat kepala Nisa terangkat.
Nisa benar-benar cantik dan tak berdaya, tangannya terikat di punggung. Aku terus menyetubuhinya dengan keras dan tidak berirama, kadang brutal berhenti sedetik dan mulai lagi dengan keras, dan bergatin menekan punggungnya ke lantai lalu menarik rambutnya hingga ia mendongak lagi, sampai aku merasakan tanda-tanda ejkulasi lagi. Aku ingin sekali melepas plesternya dan memasukan penisku ke mulutnya yang mungil, tapi untung saja aku masih sadar kalau itu bisa bikin aku ketahuan, jadi aku tetap metahan penisku di liang kenikmatan Nisa sedalam-dalamnya dan melepaskan ejakulasiku. Aku pegangin belahan pantat Nisa dekat dengan selangkanganku waktu aku menyemburkan spermaku ke rahim Nisa yang menerimanya dengan tatapan mata panik.
“Oh Nisa , sayangku, oh, oh..”
Penisku bekerja keras memompa, berdenyut, menyemburkan sperma ke tubuh Nisa , dan aku belum pernah mengeluarkan sperma sebanyak ini selama hidupku. Nisa tetap diam tidak bergerak, terengah-engah. Nafasku juga terputus-putus, dan bergidik sedikit ketika aku mengejang lagi dan menyemprotkan sisa spermaku ke rahim Nisa . Aku menghentak dia beberapa kali lagi, sekarang dengan penuh perasaan seperti sepasang kekasih. Nisa sadar bahwa aku sudah selesai, dan menerima gerakanku yang terakhir ini masih tak bergerak, dengan kepala terbenam ke dalam karpet kamarnya yang tebal.
Aku tarik penisku keluar. Dan aku langsung merasa cemas lagi. Aku langsung mengenakan pakaianku, dan secara ajaib masih ingat untuk mengambil belatiku dan memikirkan sesuatu untuk aku ucapkan pada Nisa.
“.. Makasih sayang”, aku berbisik lirih, dan langsung melarikan diri.
Dan biarpun aku sempat cemas ketika aku sudah dalam perjalanan ke luar kota, beberapa saat kemudian aku kembali dipenuhi hasrat baru. Aku berpikir untuk kembali dan menculik Nisa serta mengajak beberapa orang temanku untuk mencicipinya.
0 komentar:
Posting Komentar